klapakşa vulan vaiśākha dapunta hiya<m> nāyik di
sāmvau mangalap siddhayātra di saptamī śuklapakşa
vulan jyeşţha dapunta hiya<m> maŕlapas dari minānga
tāmvan mamāva yamvala dualakşa dangan ko-(sa)
duaratus cāra di sāmvau dangan jālan sarivu
tlurātus sapulu dua vañakña dātamdi mata jap
sukhacitta di pañcamī śuklapakşa vula<n>...
laghu mudita dātam marvuat vanua...
śrīvijaya jaya siddhayātra subhikşa...
Selamat ! Tahun Śaka telah lewat 604, pada hari ke sebelas
paro-terang bulan Waiśakha Dapunta Hiyang naik di
sampan mengambil siddhayātra. di hari ke tujuh paro-terang
bulan Jyestha Dapunta Hiyang berlepas dari Minanga
tambahan membawa bala tentara dua laksa dengan perbekalan
dua ratus cara (peti) di sampan dengan berjalan seribu
tiga ratus dua belas banyaknya datang di mata jap (Mukha Upang)
sukacita. di hari ke lima paro-terang bulan....(Asada)
lega gembira datang membuat wanua....
Śrīwijaya jaya, siddhayātra sempurna....
paro-terang bulan Waiśakha Dapunta Hiyang naik di
sampan mengambil siddhayātra. di hari ke tujuh paro-terang
bulan Jyestha Dapunta Hiyang berlepas dari Minanga
tambahan membawa bala tentara dua laksa dengan perbekalan
dua ratus cara (peti) di sampan dengan berjalan seribu
tiga ratus dua belas banyaknya datang di mata jap (Mukha Upang)
sukacita. di hari ke lima paro-terang bulan....(Asada)
lega gembira datang membuat wanua....
Śrīwijaya jaya, siddhayātra sempurna....
Keterangan
Pada baris ke-8 terdapat unsur pertanggalan. Namun bahagian akhir unsur pertanggalan pada prasasti ini telah hilang. Seharusnya bahagian itu diisi dengan nama bulan. Berdasarkan data dari Fragmen D.161 yang ditemukan di Situs Telaga Batu, J.G. de Casparis (1956:11-15) dan Boechari (1993: A1-1-4) mengisinya dengan nama bulan Āsāda. Maka lengkaplah pertanggalan prasasti tersebut, iaitu hari kelima paro-terang bulan Āsāda yang bertepatan dengan tanggal 16 Jun 682 Masehi.[2]
Menurut George Cœdès, Siddhayatra berarti semacam “ramuan bertuah” (potion magique). Tetapi kata ini boleh juga diterjemahkan lain, iaitu menurut kamus Jawa Kuno Zoetmulder(1995): “selamat dalam perjalanan”. Dengan ini kalimat di atas ini boleh diubah: “Sri Baginda naik sampan untuk melakukan penyerangan, selamat dalam perjalanannya.”
Dari prasasti Kedukan Bukit, didapatkan data-data sebagai berikut[3]:
Dapunta Hyang naik perahu tanggal 11 Waisaka 604 (23 April 682)
Dapunta Hyang berangkat dari Minanga tanggal 7 Jesta (19 Mei) dengan membawa lebih dari 20.000 balatentara. Rombongan lalu tiba di Muka Upang.
Dapunta Hyang membuat ‘wanua’ tanggal 5 Asada (16 Juni)
Selanjutnya kata Minanga yang terdapat pada prasasti ini masih menjadi perbincangan para sejarahwan. Ada yang berpendapat Dapunta Hyang berangkat dari Minanga dan menaklukan kawasan tempat ditemukannya prasasti ini.[4] Ada juga berpendapat Minanga tidak sama dengan Malayu, kedua kawasan itu ditaklukan oleh Dapunta Hyang, dimana penaklukan Malayu terjadi sebelum menaklukan Minanga dengan menganggap isi prasasti ini menceritakan penaklukan Minanga.[5] Kemudian ada yang berpendapat Minanga berubah tutur menjadi Binanga, sebuah kawasan yang terdapat pada sehiliran Sungai Barumun (wilayah Sumatera Utara sekarang).[6]
Prasasti Kedukan Bukit ditemukan oleh M. Batenburg pada 29 November 1920 di Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir,Palembang, Sumatra Selatan, di tepi Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. Prasasti ini berbentuk batu kecil berukuran 45 × 80 cm, ditulis dalam aksara Pallawa, menggunakan bahasa Melayu Kuno. Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional Indonesia dengan nomor D.146.
Pada baris ke-8 terdapat unsur pertanggalan. Namun bahagian akhir unsur pertanggalan pada prasasti ini telah hilang. Seharusnya bahagian itu diisi dengan nama bulan. Berdasarkan data dari Fragmen D.161 yang ditemukan di Situs Telaga Batu, J.G. de Casparis (1956:11-15) dan Boechari (1993: A1-1-4) mengisinya dengan nama bulan Āsāda. Maka lengkaplah pertanggalan prasasti tersebut, iaitu hari kelima paro-terang bulan Āsāda yang bertepatan dengan tanggal 16 Jun 682 Masehi.[2]
Menurut George Cœdès, Siddhayatra berarti semacam “ramuan bertuah” (potion magique). Tetapi kata ini boleh juga diterjemahkan lain, iaitu menurut kamus Jawa Kuno Zoetmulder(1995): “selamat dalam perjalanan”. Dengan ini kalimat di atas ini boleh diubah: “Sri Baginda naik sampan untuk melakukan penyerangan, selamat dalam perjalanannya.”
Dari prasasti Kedukan Bukit, didapatkan data-data sebagai berikut[3]:
Dapunta Hyang naik perahu tanggal 11 Waisaka 604 (23 April 682)
Dapunta Hyang berangkat dari Minanga tanggal 7 Jesta (19 Mei) dengan membawa lebih dari 20.000 balatentara. Rombongan lalu tiba di Muka Upang.
Dapunta Hyang membuat ‘wanua’ tanggal 5 Asada (16 Juni)
Selanjutnya kata Minanga yang terdapat pada prasasti ini masih menjadi perbincangan para sejarahwan. Ada yang berpendapat Dapunta Hyang berangkat dari Minanga dan menaklukan kawasan tempat ditemukannya prasasti ini.[4] Ada juga berpendapat Minanga tidak sama dengan Malayu, kedua kawasan itu ditaklukan oleh Dapunta Hyang, dimana penaklukan Malayu terjadi sebelum menaklukan Minanga dengan menganggap isi prasasti ini menceritakan penaklukan Minanga.[5] Kemudian ada yang berpendapat Minanga berubah tutur menjadi Binanga, sebuah kawasan yang terdapat pada sehiliran Sungai Barumun (wilayah Sumatera Utara sekarang).[6]
Prasasti Kedukan Bukit ditemukan oleh M. Batenburg pada 29 November 1920 di Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir,Palembang, Sumatra Selatan, di tepi Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. Prasasti ini berbentuk batu kecil berukuran 45 × 80 cm, ditulis dalam aksara Pallawa, menggunakan bahasa Melayu Kuno. Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional Indonesia dengan nomor D.146.
Referensi
^ The Encyclopedia of Malaysia: Languages and Literature, Volume 9 / edited by Prof. Dato' Dr. Asmah Haji Omar
^ Casparis, J.G. de, (1956), Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions from the 7th to the 9th Century A.D., Dinas Purbakala Republik Indonesia, Bandung: Masa Baru.
^ Damais, Louis-Charles, (1952), Etude d’Epigraphie Indonesienne III: Liste des Principales Datees de l’Indonesie, BEFEO, tome 46.
^ Soekmono, R., (2002), Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 2, Kanisius, ISBN 979-413-290-X
^ Irfan, N.K.S., (1983), Kerajaan Sriwijaya: pusat pemerintahan dan perkembangannya, Girimukti Pasaka
^ Muljana, Slamet, (2006), Sriwijaya, PT. LKiS Pelangi Aksara, ISBN 978-979-8451-62-1
^ The Encyclopedia of Malaysia: Languages and Literature, Volume 9 / edited by Prof. Dato' Dr. Asmah Haji Omar
^ Casparis, J.G. de, (1956), Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions from the 7th to the 9th Century A.D., Dinas Purbakala Republik Indonesia, Bandung: Masa Baru.
^ Damais, Louis-Charles, (1952), Etude d’Epigraphie Indonesienne III: Liste des Principales Datees de l’Indonesie, BEFEO, tome 46.
^ Soekmono, R., (2002), Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 2, Kanisius, ISBN 979-413-290-X
^ Irfan, N.K.S., (1983), Kerajaan Sriwijaya: pusat pemerintahan dan perkembangannya, Girimukti Pasaka
^ Muljana, Slamet, (2006), Sriwijaya, PT. LKiS Pelangi Aksara, ISBN 978-979-8451-62-1
No comments:
Post a Comment