Tuesday, 4 October 2011

Kesultanan Kutai Kartanegara


Tulisan pada prasasti Kutai

Kerajaan Kutai merupakan antara kerajaan tertua di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya 7 buah prasasti yang ditulis diatas yupa (tugu batu) yang ditulis dalam bahasa Sansekerta dengan menggunakan huruf Pallawa. Berdasarkan paleografinya, tulisan tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-5 Masehi.

Dari prasasti tersebut dapat diketahui adanya sebuah kerajaan dibawah kepemimpinan Sang Raja Mulawarman, putera dari Raja Aswawarman, cucu dari Maharaja Kudungga. Kerajaan yang diperintah oleh Mulawarman ini bernama Kerajaan Kutai Martadipura, dan berlokasi di seberang kota Muara Kaman.

Pada awal abad ke-13, berdirilah pula  sebuah kerajaan baru di Tepian Batu atau Kutai Lama yang bernama Kerajaan Kutai Kartanegara dengan rajanya yang pertama, Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325).

Dengan adanya dua kerajaan di kawasan Sungai Mahakam ini tentunya menimbulkan konflik di antara keduanya. Pada abad ke-16 terjadilah peperangan di antara kedua kerajaan Kutai ini. Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah rajanya Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa akhirnya berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai Martadipura. Raja 
Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.

Pada abad ke-17 agama Islam diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara. Selanjutnya banyak nama-nama Islam yang digunakan pada nama-nama raja dan keluarga kerajaan Kutai Kartanegara. Misalnya sebutan raja pun diganti dengan sebutan Sultan. Sultan yang pertama kali menggunakan nama Islam adalah Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778).

Tahun 1732, ibukota Kerajaan Kutai Kartanegara pindah dari Kutai Lama ke Pemarangan.


Perpindahan ibukota Kerajaan Kutai Kartanegara dari Kutai Lama (1300-1732) ke Pemarangan (1732-1782) kemudian pindah ke Tenggarong (1782-kini).

Sultan Aji Muhammad Idris yang merupakan menantu dari Sultan Wajo Lamaddukelleng berangkat ke tanah Wajo, Sulawesi Selatan untuk turut bertempur melawan VOC bersama rakyat Bugis. Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara untuk sementara dipegang oleh Dewan Perwalian.

Pada tahun 1739, Sultan Aji Muhammad Idris gugur di medan pertempuran. Kemangkatan Sultan Aji Muhammad Idris, terjadilah perebutan tahta kerajaan oleh Aji Kado dengan Dewan Perwalian. Putera mahkota kerajaan Aji Imbut anakanda almarhum Sultan Aji Muhammad Idris  yang saat itu masih kecil kemudian dilarikan ke Wajo. Aji Kado kemudian meresmikan namanya sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan menggunakan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.

Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota yang syah dari Kesultanan Kutai Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada almarhum Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang (Samarinda Seberang). Sejak dari itu bermulalah penentangan terhadap Aji Kado.

Penentangan berlangsung dengan kawalan yang ketat oleh Mangkujenang terhadap Pemarangan. Armada bajak laut Sulu terlibat dalam penentangan ini dengan melakukan penyerangan dan pembajakan terhadap Pemarangan. Tahun 1778, Aji Kado meminta bantuan VOC namun tidak dapat dipenuhi.

Pada tahun 1780, Aji Imbut berhasil merebut kembali ibukota Pemarangan dan secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin di istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan.

Aji Imbut gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ke Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado dan Pemarangan dianggap telah kehilangan tuahnya. Nama Tepian Pandan kemudian diubah menjadi Tangga Arung yang berarti Rumah Raja, lama-kelamaan Tangga Arung lebih populer dengan sebutan Tenggarong dan tetap bertahan hingga kini.

Pada tahun 1838, Kesultanan Kutai Kartanegara dipimpin oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin setelah Aji Imbut mangkat pada tahun tersebut.
Pada tahun 1844, 2 buah kapal dagang  Inggeris pimpinan James Erskine Murray memasuki perairan Tenggarong. J. E. Murray datang ke Kutai untuk berdagang dan meminta tanah untuk mendirikan pos dagang serta hak eksklusif untuk menjalankan kapal wap di perairan Mahakam. Namun Sultan A.M. Salehuddin mengizinkan J. E. Murray untuk berdagang hanya di wilayah Samarinda saja. J. E. Murray kurang puas dengan tawaran Sultan ini. Setelah beberapa hari di perairan Tenggarong, J. E. Murray melepaskan tembakan meriam ke arah istana dan dibalas oleh pasukan kerajaan Kutai. Pertempuran pun tak dapat dihindari. Armada pimpinan J. E. Murray akhirnya kalah dan melarikan diri menuju laut lepas. Lima orang terluka dan tiga orang terbunuh termasuk J. E. Murray.



Relief peristiwa pertempuran Awang Long Senopati pada Monumen Pancasila, Tenggarong

 Insiden pertempuran di Tenggarong ini sampai kepengetahuan  
Syarikat Hindia Timur InggerisSyarikat Hindia Timur Inggeris telah meminta bantuan pihak Belanda menyelesaikan masalah Kutai. Kemudian Belanda mengirimkan armadanya di bawah komando t'Hooft dengan membawa persenjataan yang lengkap. Setibanya di Tenggarong, armada t'Hooft menyerang istana Sultan Kutai. Sultan A.M. Salehuddin diusir ke Kota Bangun. Panglima perang kerajaan Kutai, Awang Long gelar Pangeran Senopati bersama pasukannya dengan gagah berani bertempur melawan armada t'Hooft untuk mempertahankan kehormatan Kerajaan Kutai Kartanegara. Awang Long gugur dalam pertempuran yang kurang seimbang tersebut dan Kesultanan Kutai Kartanegara akhirnya kalah dan ditakluk oleh Belanda.

Pada tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin dipaksa menandatangani perjanjian dengan Belanda yang menyatakan bahwa Sultan mengakui pemerintahan Hindia Belanda dan mematuhi pemerintah Hindia Belanda di Kalimantan yang diwakili oleh seorang Residen yang berkedudukan di Banjarmasin.

Tahun 1846, H. von Dewall menjadi administrator sipil Belanda yang pertama di pantai timur Kalimantan.

Pada tahun 1850, Sultan A.M. Sulaiman memegang tampuk kepemimpinan Kesultanan Kutai kartanegara Ing Martadipura.

Pada tahun 1853, pemerintah Hindia Belanda menempatkan J. Zwager sebagai Assisten Residen di Samarinda. Saat itu kekuatan politik dan ekonomi masih berada dalam genggaman Sultan A.M. Sulaiman (1850-1899).

Pada tahun 1863, satu perjanjian kerajaan Kutai Kartanegara dengan Belanda. Dalam perjanjian itu Kerajaan Kutai Kartanegara dijadikan sebahagian dari Pemerintahan Hindia Belanda.

Tahun 1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibuka di Batu Panggal oleh J.H. Menten. J.H. Menten telah meletakkan beberapa peraturan bagi ekspoitasi minyak di wilayah Kutai. Kemakmuran wilayah Kutai semakin pesat sehingga Kesultanan Kutai Kartanegara menjadi terkenal di masa itu. Royalti atas pengeksloitasian sumber alam di Kutai diberikan kepada Sultan Sulaiman.

Tahun 1899, Sultan Sulaiman wafat dan digantikan putera mahkotanya Aji Mohammad dengan gelar Sultan Aji Muhammad Alimuddin.

 Pada tahun 1908, wilayah hulu Mahakam ini diserahkan kepada Belanda dengan pampasan sebanyak 12.990 Gulden setahun kepada Sultan Kutai Kartanegara.

Pada tahun 1910, Sultan Alimuddin telah wafat. Baginda hanya sempat bertahta lebih kurang 11 tahun. Memandangkan putera mahkota Aji Kaget masih belum dewasa, tampuk pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara kemudian dipegang oleh Dewan Perwalian yang dipimpin oleh Aji Pangeran Mangkunegoro.
A.P. Mangkunegoro

Pada tanggal 14 Nopember 1920, Aji Kaget dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Parikesit.


Sultan Aji Muhammad Parikesit

 Sejak awal abad ke-20, ekonomi Kutai berkembang dengan sangat pesat sebagai hasil pendirian perusahaan Borneo-Sumatra Trade Co. Di tahun-tahun tersebut, kapital yang diperoleh Kutai tumbuh secara mantap melalui surplus yang dihasilkan tiap tahunnya. Hingga tahun 1924, Kutai telah memiliki dana sebesar 3.280.000 Gulden - jumlah yang sangat besar pada masa itu.

Tahun 1936, Sultan Aji Muhammad Parikesit mendirikan istana baru yang megah dan kukuh yang terbuat dari bahan beton. Dalam kurun waktu satu tahun, istana tersebut selesai  didirikan.

Pada tahun 1942 Jepun menduduki wilayah Kutai. Sultan 
Aji Muhammad Parikesit terpaksa tunduk pada Tenno Heika, Kaisar Jepun. Kerajaan Jepun memberi gelaran kehormatan Koo kepada Sultan Aji Muhammad Parikesit dengan nama kerajaan Kooti.

Pada tahun 1945, Indonesia mencapai kemerdekaan . Dua tahun kemudian iaitu  tahun 1947, Kesultanan Kutai Kartanegara dengan status Daerah Swapraja dimasukan ke dalam Federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah Kesultanan lainnya seperti Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir dengan membentuk Dewan Kesultanan. Kemudian pada 27 Disember 1949 dimasukkan dalam  Republik Indonesia Serikat. Daerah Swapraja Kutai diubah menjadi Daerah Istimewa Kutai yang merupakan daerah autonomi/daerah istimewa tingkat kabupaten berdasarkan UU Darurat No.3 Th.1953.

Pada tahun 1959, berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959 tentang "Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan", wilayah Daerah Istimewa Kutai dipecah menjadi 3 Daerah Tingkat II, yakni:
1. Daerah Tingkat II Kutai dengan ibukota Tenggarong
2. Kotapraja Balikpapan dengan ibukota Balikpapan
3. Kotapraja Samarinda dengan ibukota Samarinda

Pada tanggal 20 Januari 1960, bertempat di Gubernuran di Samarinda, A.P.T. Pranoto yang menjawat jawatan sebagai Gabernor Kalimantan Timur, dengan atas nama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia melantik dan mengangkat sumpah 3 kepala daerah untuk ketiga daerah swatantra tersebut, yakni:
1. A.R. Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai
2. Kapt. Soedjono sebagai Walikota Kotapraja Samarinda
3. A.R. Sayid Mohammad sebagai Walikota Kotapraja Balikpapan

Sehari kemudian, pada tanggal 21 Januari 1960 bertempat di Balairung Keraton Sultan Kutai, Tenggarong diadakan Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai. Inti dari acara ini adalah serah terima pemerintahan dari Kepala Kepala Daerah Istimewa Kutai, Sultan Aji Muhammad Parikesit kepada Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai, Kapten Soedjono (Walikota Samarinda) dan A.R. Sayid Mohammad (Walikota Balikpapan). 

Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara berakhir pada  21 Januari 1960 di bawah pemerintahan Sultan Aji Muhammad Parikesit. Sultan Aji Muhammad Parikesit akhirnya hidup sebagai rakyat biasa.

 Pada tahun 1999, Bupati Kutai Kartanegara Drs. H. Syaukani HR, MM berniat untuk menghidupkan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. 
Pada tanggal 7 November 2000, Bupati Kutai Kartanegara bersama waris Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura iaitu Putera Mahkota Kutai H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerja Adiningrat menghadap Presiden Republik Indonesia,  Abdurrahman Wahid di Bina Graha Jakarta untuk menyampaikan maksud di atas. Presiden Wahid menyetujui dan merestui dikembalikannya Kesultanan Kutai Kartanegara kepada keturunan Sultan Kutai yakni putera mahkota H. Aji Pangeran Praboe.

Pada tanggal 22 September 2001, Putra Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara, H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan H. Aji Muhammad Salehuddin II. Penabalan H.A.P. Praboe sebagai Sultan Kutai Kartanegara baru dilaksanakan pada tanggal 22 September 2001
Sultan H.A.M. Salehuddin II

No comments:

Post a Comment