Thursday 6 October 2011

RAJA ALI HAJI (RAH)

1. Data Diri
Nama Lengkap RAH adalah Raja Ali al-Hajj ibni Raja Ahmad al-Hajj ibni Raja Haji Fisabilillah bin Opu Daeng Celak alias Engku Haji Ali ibni Engku Haji Ahmad Riau. Ia dilahirkan pada tahun 1808 M di pusat Kesultanan Riau-Lingga di Pulau Penyengat (kini masuk dalam wilayah Kepulauan Riau, Indonesia).


Sekilas tentang Pulau Penyengat. 
Dalam buku-buku Belanda, pulau kecil ini disebut Mars. Menurut masyarakat setempat, nama pujian-pujian dari pulau ini adalah Indera Sakti. Di pulau ini banyak terlahir karya-karya sastra dan budaya Melayu yang ditulis oleh tokoh-tokoh Melayu sepanjang abad ke-19 dan dua dasawarsa abad ke-20, di mana RAH termasuk di dalamnya.


Catatan tentang hari dan bulan kelahiran RAH berbeda dengan ayahnya. Catatan mengenai kelahiran ayahnya begitu rinci, yaitu pada hari Kamis waktu Asar bulan Rajab tahun 1193 H di Istana Yang Dipertuan Muda. Raja Haji Ibni Daeng Celak. Sedangkan catatan mengenai RAH justeru singkat sekali. Bahkan, catatan kelahiran RAH lebih banyak didasarkan pada perkiraan saja. Menurut Hasan Junus (2002: 62), masa yang berbeda, keadaan yang berbeda, mengantar pada semangat zaman yang berbeda. . Semangat zaman yang berkembang pada saat itu menyebabkan orang-orang memanggil nama RAH dengan sebutan 'Raja'.
Orang-orang Melayu pada masa itu sering mengingat waktu kelahiran si anak dengan mendasarinya pada peristiwa-peristiwa penting. RAH lahir lima tahun setelah Pulau Penyengat dibuka sebagai tempat kediaman Engku Puteri. Atau ia lahir dua tahun setelah benteng Portugis  'A-Famosa' di Melaka diruntuhkan atas perintah William Farquhar. Orang-orang Melayu  juga sering memberikan nama anaknya dengan mengambil nama datuk (kakek)  apabila datuknya itu sudah meninggal. Hal inilah yang menyebabkan banyak terjadi kemiripan nama dalam masyarakat Melayu.


Tahun berapakah  meninggalnya RAH sempat menjadi perdebatan. Banyak sumber  yang menyebutkan bahwa ia meninggal pada tahun 1872. Namun, ternyata ada akta lain yang membalikkan pandangan umum tersebut. Pada tanggal 31 Desember 1872, RAH pernah menulis surat kepada Hermann von de Wall,
sarjana kebudayaan Belanda yang kemudian menjadi sahabat terdekatnya, yang meninggal di Tanjung pinang pada tahun 1873. Dari fakta ini dapat  dikatakan bahwa RAH meninggal pada tahun yang sama (1873) di Pulau Penyengat. Makam RAH berada di komplek pemakaman Engku Putri Raja Hamidah. Persisnya, terletak di luar bangunan utama Makam Engku Putri. Karya RAH, 'Gurindam Dua Belas' diabadikan di sepanjang dinding bangunan makamnya. Sehingga, setiap pengunjung yang datang dapat membaca serta mencatat  karya maha agung tersebut.


2. Silsilah dan Latar Belakang Keluarga
RAH adalah putra Raja Ahmad, yang setelah berhaji ke Mekkah bergelar Engku Haji Tua, cucu Raja Haji Fisabilillah. Ibunya bernama Encik Hamidah binti Panglima Malik Selangor atau Putri Raja Selangor yang
meninggal pada tanggal 5 Agustus 1844. Kakek (datuk) RAH bernama Raja Haji Fisabilillah, merupakan Yang Dipertuan Muda (YDM) Riau IV. Ia dikenal sebagai YDM yang berhasil menjadikan Kesultanan Riau-Lingga sebagai pusat perdagangan yang sangat penting di kawasan ini. Ia juga seorang pahlawan yang terkenal berani melawan penjajah Belanda, sehingga meninggal di medan perang di Teluk Ketapang (18 Jun 1784). Ia meninggalkan dua putra, yaitu Raja Ahmad (ayah RAH) dan Raja Ja'far.Raja Ahmad (ayah RAH) dikenal sebagai intelektual Muslim yang produktif  menulis karya-karya besar, seperti :
Syair Perjalanan Engku Putri ke Lingga (1835), 
Syair Raksi (1841), dan
Syair Perang Johor (1843).


Ia juga dikenal sebagai pemerhati sejarah, terutama sejarah masa lalu. Dalam karyanya, Syair Perang Johor, ia menguraikan fakta perang Kesultanan Johor dan Kesultanan Aceh pada abad XVII, yaitu pada masa
keemasan Johor. Ia dikenal sebagai penulis pertama yang melahirkan sebuah epik yang menghubungkan sejarah Bugis di wilayah Melayu dan hubungannya dengan sultan-sultan Melayu. Keluarga Raja Ahmad terdiri dari orang-orang terpelajar dan suka dengan dunia tulis-menulis. Anggota keluarganya yang pernah menghasilkan karya adalah Raja Ahmad Engku Haji Tua, RAH, Raja Haji Daud, Raja Salehah, Raja Abdul Mutallib, Raja Kalsum, Raja Safiah, Raja Sulaiman, Raja Hasan, Hitam Khalid, Aisyah Sulaiman, Raja Ahmad Tabib, Raja Haji Umar, Abu Muhammad Adnan, dan lain sebagainya. 

Jika ditelusuri hingga keturunan Raja Haji Fisabilillah (kakek RAH), maka anggota keluarga Raja
Ahmad yang giat berkarya akan bertambah lagi, yaitu Raja Ali, Raja Abdullah, Raja Ali Kelana, R. H. M. Said, dan lain sebagainya.
Dari ayah yang sama (Raja Ahmad), Raja Ali Haji mempunyai beberapa saudara laki-laki dan perempuan, yaitu Raja Haji Daud yang menjadi tabib, Raja Haji Umar (Raja Endut), Raja Salehah (Zaleha), Raja Cik,
Raja Aisyah, Raja Haji Abdullah, Raja Ishak, Raja Muhammad Said, Raja Abu Bakar, Raja Siti, Raja Abdul Hamid, dan Raja Usman.


RAH sebenarnya berasal dari keturunan Bugis. Garis keturunan ini berasal neneknya (Opu Daeng Cellak) yang berasal dari tanah Bugis, namun kemudian menetap di Riau dan memperoleh jabatan sebagai Yang Dipertuan Agung (pembantu sultan dalam urusan pemerintahan). Cerita ini bermula ketika La Madusilat, Raja Bugis yang pertama kali masuk Islam, ternyata memiliki keturunan yang salah satunya bernama Daeng Rilaka.


Daeng Rilaka mempunyai lima anak, yaitu Opu Daeng Parani, Opu Daeng Marewah, Opu Daeng Menambun, Opu Daeng Cellak, dan Opu Daeng Kemasi. Bersama kelima anaknya itu, Daeng Rilaka meninggalkan tanah Bugis dan mengembara ke wilayah Kesultanan Riau-Johor. Keturunan ini mendapat kedudukan di istana kesultanan. Anak keempat Daeng Rilaka, Opu Daeng Cellak yang merupakan nenek RAH menjadi Yang Dipertuan Muda (YDM) Riau II (1728-1745), menggantikan saudaranya Opu Daeng Marewah, YDM Muda Riau I (1723-1728). 


Jabatan tersebut merupakan realisasi dari perjanjian Kesultanan Riau-Lingga dengan Raja Bugis yang telah berhasil menaklukkan Minangkabau. Ketika itu memang terjadi perang antara Kerajaan Minangkabau dan Kesultanan Melayu. Berdasarkan garis keturunan itu, maka RAH merupakan keturunan Kesultanan Riau-Lingga yang dikenal memiliki tradisi keagamaan dan keilmuan yang sangat kuat.


RAH memiliki 17 orang putra-putri, yaitu: 
1). Raja Haji Hasan, 
2). Raja Mala, 
3). Raja Abdur Rahman,
4). Raja Abdul Majid, 
5). Raja Salamah,
6). Raja Kaltsum,
7). Raja Ibrahim Kerumung, 
8). Raja Hamidah, 
9). Raja Engku Awan ibu Raja Kaluk, 
10). Raja Khadijah, 
11). Raja Mai, 
12). Raja Cik, 
13). Raja Muhammad Daeng Menambon, 
14). Raja Aminah, 
15). Raja Haji Salman Engku Bih, 
16). Raja Siah, dan 
17). Raja Engku Amdah


Anak RAH yang pertama (Raja Haji Hasan) mempunyai 12 orang putra-putri,
yaitu: 
1). Raja Haji Abdullah Hakim, 
2). Raja Khalid Hitam (meninggal dunia di Jepun),
3). Raja Haji Abdul Muthallib,
4). Raja Mariyah, 
5).Raja Manshur, 
6). Raja Qamariyah, 
7). Raja Haji Umar, 
8). Raja Haji Andi, 
9). Raja Abdur Rasyid, 
10). Raja Kaltsum, 
11). Raja Rahah, dan
12). Raja Amimah.


Cucu-cucu RAH ini kemudian menjadi ulama-ulama dan tokoh-tokoh masyarakat.


3. Pendidikan
RAH memperoleh pendidikan dasarnya dari ayahnya sendiri. Di samping itu, ia juga mendapatkan pendidikan dari lingkungan istana Kesultanan Riau-Lingga di Pulau Penyengat. Di lingkungan kesultanan ini, secara langsung ia mendapatkan pendidikan dari tokoh-tokoh terkemuka yang pernah datang. Ketika itu banyak tokoh ulama yang merantau ke Pulau Penyengat dengan tujuan mengajar dan sekaligus belajar. Di antara ulama-ulama yang dimaksud adalah Habib Syeikh as-Saqaf, Syeikh Ahmad Jabarti, Syeikh Ismail bin Abdullah al-Minkabawi, Syeikh Abdul Ghafur bin Abbas al-Manduri, dan masih banyak lagi.


Pada saat itu, Kesultanan Riau-Lingga dikenal sebagai pusat kebudayaan Melayu yang giat mengembangkan bidang agama, bahasa, dan sastra. Oleh karena RAH merupakan bagian dari keluarga besar kesultanan,  maka ia termasuk orang pertama yang dapat bersentuhan dengan pendidikan model ini, yaitu bertemu langsung dengan tokoh-tokoh ulama yang datang ke Pulau Penyengat. Ia belajar al-Qur'an, hadits, dan ilmu-ilmu agama lainnya. Pendidikan dasar yang diperoleh RAH adalah sama dengan anak-anak seusianya. RAH juga mendapatkan pendidikan dari luar lingkungan kesultanan. Ketika ia beserta rombongan ayahnya pergi ke Betawi pada tahun 1822, RAH memanfaatkan momentum ini sebagai wahana untuk belajar. Ia juga pernah belajar bahasa Arab dan ilmu agama di Mekkah, yaitu ketika ia bersama ayahnya dan sebelas kerabat lainnya mengunjungi tanah suci Mekkah pada tahun 1828 (menunaikan haji). RAH beserta ayah dan rombongannya sempat ke Mesir,setelah berkelana di Mekkah beberapa bulan. Ketika itu, RAH masih muda.


Selama berkelana di Mekkah, RAH memanfaatkan banyak waktunya untuk menambah pengetahuan keagamaannya. Di tanah suci inilah, pendidikannya seakan-akan mengalami peningkatan yang sangat tajam. Di sana ia sempat berhubungan dengan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fatani. Ia belajar kepadanya seperti pengetahuan bahasa Arab dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Ulama ini merupakan sosok ulama terkenal di kalangan masyarakat Melayu yang ada di Mekkah. Selama di Mekkah, RAH juga bersahabat dengan salah seorang anak Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari, yaitu Syeikh Syihabuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari


4. Pengalaman Pemtadbiran 


Ketika masih dalam usia muda, RAH sudah diamanahi tugas-tugas kenegaraan yang penting. Dalam usia 30 tahun, RAH mengikuti saudara sepupunya, Raja Ali bin Jafar, pergi ke seluruh kawasan Kesultanan Riau-Lingga hingga ke pulau-pulau terpencil. Keperluan mereka adalah untuk memeriksa kawasan tersebut. Ketika Raja Ali bin Jafar dipercaya menjadi Wakil Yang Dipertuan Muda di Kesultanan Riau-Lingga, RAH juga ikut membantu pekerjaan saudara sepupunya itu.Ketika usia RAH telah mencapai 32 tahun, ia beserta saudara sepupunya itu dipercaya memerintah wilayah Lingga untuk mewakili Sultan Mahmud Muzaffar Syah, yang pada saat itu masih kecil. 


Pada tanggal 26 Juni 1844 atau Hari Rabu 9 Jumadil-akhir 1260 H, RAH membuat penistiharaan yang isinya mendukung Raja Ali menjadi Wakil Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau-Lingga. Ketika Raja Ali bin Jaafar diangkat sebagai Yang Dipertuan Muda Riau VIII pada tahun 1845, RAH diangkat sebagai penasehat keagamaan kesultanan. Meski diserahi tanggung jawab kenegaraan yang begitu berat karena menguras tenaga dan pikirannya, namun RAH tetap menunjukkan profesionalitinya sebagai penulis yang sangat produktif.


Bersama dengan Raja Abdullah Mursyid dan Raja Ali bin Jafar, RAH berdagang di Pulau Karimun dan Kundur. Mereka juga mengelola penambangan timah. Ketika Yang Dipertuan Muda Riau Raja Ali bin Jaafar digantikan oleh adiknya Raja Haji Abdullah Mursyid, RAH dan Raja Ali bin Jaafar kemudian membangun lembaga Ahlul Halli wa Aqdi  untuk membantu jalannya roda pemerintahan kesultanan.


Menjelang wafatnya pada tahun 1858, Yang Dipertuan Muda Raja Haji Abdullah Munsyi menulis surat wasiat yang isinya mengangkat RAH sebagai pemegang segala pekerjaan hukum, yaitu semua urusan yang menyangkut jurisprudensi Islam. Di sela-sela tugasnya sebagai abdi negara, pada tanggal 7 Mei 1868, RAH mengetuai rombongan Kesultanan Riau-Lingga menuju Teluk Belanga untuk menghadiri penobatan  Tumenggung Johor Abu Bakar sebagai Maharaja Johor. Pekerjaan sebagai penanggung jawab bidang 
hukum Islam di Kerajaan Riau-Lingga hingga ia meninggal pada tahun 1873.


5. Aktivitas Nasional dan Internasional


*5. 1. Perjalanan ke Betawi/*
RAH dikenal sangat dekat dengan ayahnya. Pada tahun 1822, RAH ikut ayahnya ke Betawi selama tiga bulan. Ayahnya membawa rombongan Kesultanan Riau-Lingga, termasuk istri dan dua orang anaknya, yaitu RAH sendiri dan Raja Muhammad. Kepergian ayahnya beserta rombongan itu adalah dalam suatu urusan Kesultanan Riau-Lingga dengan pemerintah Hindia Belanda, tepatnya dalam urusan perdagangan dan  penelitian. Secara khusus, rombongan ini akan menemui Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Godart Alexander Gerad Philip Baron van der Capellen. Mereka bertolak dari Riau dengan menggunakan sebuah penjajab, sebuah penisi, sebuah "belah semangka", dan sebuah perahu biasa. Perjalanannya dimulai dengan
bersinggah sebentar di Lingga, dan kemudian meneruskan pelayaran melalui Selat Bangka. Sesampainya di Betawi, RAH memanfaatkan sebaik-baiknya apa yang bakal dilihat atau ditemuinya di sana. Ia sempat bertemu dengan Gubernur Jenderal Godart Alexander Gerard Philip Baron van der Capellen yang menjamu rombongan Raja Ahmad di Istana Gubernur Jenderal Belanda. Ia juga dapat berkenalan dengan beberapa orang Belanda yang menguasai bahasa Melayu dengan baik. Ia juga dapat mengunjungi Bogor dan menonton 
berbagai pertunjukan kesenian di sana, seperti opera. Ia juga sempat mengunjungi ulama terkenal Betawi bernama Saiyid Abdur Rahman al-Mashri.


Rekaman peristiwa dan pengalaman RAH selama di Betawi dituangkan dalam karyanya berjudul Tuhfat al-Nafis. Ada dua peristiwa penting dari pengalamannya selama di Betawi yang kelak mempengaruhi pemikiran RAH.
Pertama, kesempatannya ketika menonton opera di Gedung Schouwburg (yang kini bernama Gedung Kesenian Pasar Baru Jakarta). Bangunan gedung ini bentuknya seperti rumah yang lekuk ke dalam tanah 


Kedua, pertemuannya dengan Christiaan van Angelbeek, penerjemah resmi Biro Urusan Pribumi pada Pemerintah Hindia Belanda.


Pada abad ke-19, sebenarnya ada tiga buah gedung yang sering digunakan sebagai tempat pertunjukan kesenian di Betawi, yaitu Gedung Schouwburg, Gedung Societet de Harmonie, dan Gedung Societet Concordia. Gedung terakhir tidak mungkin ditonton oleh RAH dan rombongan Kesultanan Riau-Lingga karena baru dibangun setelah kedatangan mereka, yaitu pada tahun 1833. Gedung Societet de Harmonie sendiri dibangun pada tahun 1815 dengan kapasitas tempat duduk 250 orang dan beratapkan rumbia. Oleh 
Daendels, gedung ini difungsikan sebagai gedung pameran. Pada tahun 1821, gedung ini diubahsuai  untuk dijadikan sebagai gedung teater dengan luas 1.476 meter persegi dan diberi nama Schouwburg.


Pernah ada perdebatan tentang manakah yang benar: di Gedung Societet deHarmonie atau di Gedung Schouwburg sebagai tempat RAH dan rombongan Kesultanan Riau-Lingga menonton berbagai pertunjukan kesenian? Petikan Teks dalam Tuhfat al-Nafis  disebutkan:
Syahdan pada satu malam datang panggil Gubernur Jenderal segala anak raja utusan itu; yang disuruhnya yaitu Sayid Hasan. Maka pergilah sekalian utusan itu. Maka lalulah dibawanya kepada satu rumah main wayang, Holanda, kata orang namanya wayang komedi, dan sifat rumahnya itu lekuk ke dalam tanah....


Berdasarkan teks ini, maka jelas bahwa gedung yang ditontoh RAH dan rombongan Kesultanan Riau-Liangga adalah Gedung Schouwburg .

No comments:

Post a Comment